<meta name='google-adsense-platform-account' content='ca-host-pub-1556223355139109'/> <meta name='google-adsense-platform-domain' content='blogspot.com'/> <!-- --><style type="text/css">@import url(https://www.blogger.com/static/v1/v-css/navbar/3334278262-classic.css); div.b-mobile {display:none;} </style> </head><body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5591682808013880391\x26blogName\x3d::butterfly.flies.in.the.sky::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://kupukupulangit.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_GB\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://kupukupulangit.blogspot.com/\x26vt\x3d1374428785504328993', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>



archives

♥December 2008
♥July 2009
♥August 2009
♥September 2009
♥October 2009



♥20081215

Pengalaman Pertama

Pengalaman Pertama, Tak Seindah Pandangan Pertama

Sinar mentari mengikis jelaga malam hingga tandas tak bersisa. Aku dengan malas bangun dari ranjang. Masih pukul setengah sembilan pagi. Bagiku, ini masih terlalu pagi. Apalagi di hari libur seperti hari Sabtu begini, jangankan aku, matahari pun mungkin terpaksa bangun dari tidurnya. Namun, apa boleh buat, hari libur untukku tidak berlaku untuk aktivitasku.

Siang itu, matahari cantik menggantung di telinga langit, panasnya menyengat serasa menusuk kulit seolah ingin menghanguskan seluruh makhluk insani. Aku, ditemani terik mentari pergi seorang diri menuju Kota Bogor yang 20 kilometer jauhnya dari rumahku di Cibinong. Aku ke sana untuk menemui rekanku, Mas Rama, yang hari itu akan memberiku penjelasan tentang riset yang akan aku lakukan ke Kebun Raya Bogor untuk pembuatan skenario sebuah film dokumenter yang disutradarainya.

Setelah mendapatkan penjelasan dan bekal Rp100.000,- dari Mas Rama, aku langsung pergi ke Kebun Raya Bogor. Kebun Raya Bogor bukan tempat yang asing bagiku, seringkali aku bersama teman-temanku dulu mendatangi tempat ini sekedar melepas jenuh dan penat di sela-sela hari sekolah. Ibarat mengingat wajah kekasih hati, aku hafal setiap sudut di taman raksasa itu termasuk apa yang pernah kulihat di dalam Museum Zoologi yang terletak di area Kebun Raya.

Setibanya aku di sana, aku melihat di samping pintu masuk terdapat gedung pemasaran, aku berpikir mungkin lebih baik jika aku mendatangi gedung pemasarannya terlebih dahulu. Mencoba lebih baik dibanding tidak sama sekali,bukan? Di kantor pemasaran aku melihat banyak orang yang sedang menunggu. Ternyata di hari Sabtu seperti ini masih banyak orang datang ke kantor ini. Ada dua orang mahasiswi dan beberapa orang pegawai negeri sipil, entah apa yang mereka tunggu. Ada juga sepasang muda mudi yang hendak menjadikan Kebun Raya sebagai lokasi untuk pemotretan pre-wedding mereka.

Setelah mengungkapkan maksud kedatanganku, orang pemasaran itu memberikanku sejumlah informasi mengenai fasilitas-fasilitas yang terdapat di Kebun Raya seperti; penyewaan tempat pesta outdoor, syuting film atau video klip, harga untuk mengadakan foto pre-wedding,dll. Setelah itu, dia menyarankan aku untuk naik ke lantai 2 dan mencari bahan yang aku perlukan di perpustakaan.

Pada mulanya, pandanganku tentang melakukan sebuah riset adalah sesuatu yang mudah dan tidak rumit. Apalagi, tempat yang menjadi objek risetku memiliki perpustakaannya sendiri. Tetapi nyatanya aku salah, yang ada di perpustakaan adalah buku-buku botani mengenai tanaman dalam dan luar negeri. Hanya satu atau dua buku yang membahas mengenai Kebun Raya. Di sana juga ada satu buku besar dan tebal yang memuat banyak informasi yang aku butuhkan. Sayangnya, karena aku bukan karyawan di tempat itu, aku hanya diperbolehkan untuk memfotokopi.

Aku senang karena setidaknya aku diizinkan untuk memfotokopi materi tersebut, namun ternyata kesenanganku tidak berlangsung lama, mesin fotokopi di tempat itu rusak dan aku tidak diizinkan membawa buku tersebut keluar ruangan. Perasaan yang semula senang langsung berganti kesal. Manis langsung berganti pahit. Sia-sia rasanya aku menghabiskan waktu begitu lama di perpustakaan itu untuk mencari informasi tetapi aku tidak mampu membawa pulang apa-apa.

Aku memutuskan untuk langsung masuk ke Kebun Raya dan meninggalkan perpustakaan dengan air muka merah karena kesal. Seorang penjaga di perpustakaan itu memanggilku.

“Mbak, mau cari buku tentang Kebun Raya ya?”

Aku hanya mengangguk dengan senyum tersungging malas. Aku ini dianggapnya hantu atau apa, lebih dari satu jam aku di ruangan itu dan ia baru bertanya padaku ketika aku beranjak pergi. Tak lama perempuan bertubuh mungil itu mengeluarkan beberapa buku bersampulkan objek-objek di Kebun Raya.

Lalu katanya padaku, “Coba aja ‘mbak pakai buku ini.”

Aku mengambil salah satu buku yang ditunjukkannya dan membaca sekilas apa yang ada di dalamnya. Ternyata, semua informasi yang aku butuhkan terdapat dalam buku itu.

“Tapi di sini kan gak bisa difotokopi. Bukunya juga ‘kan gak boleh dibawa keluar. Percuma dong,Mbak. Masa saya mau nyatat isinya? Bisa seharian.” Jawabku kesal. Kecamuk hati kian meraja. Andai dia tahu betapa kecewanya aku menghabiskan hampir 2 jam waktuku di ruangan itu tanpa mendapatkan sesuatu apapun.

“Ini dijual kok,Mbak.”

Kecamuk hati sedikit mereda, terbasuh ucapan terakhir penjaga perpustakaan itu. Batin pun berbicara. Nah!! Bilang dari tadi kek! Ngapain aku lama-lama di sini. Toh tadi juga Mas Rama udah kasih aku uang.

“Oh...masa? Kalau gitu saya beli aja deh.”

Buru-buru kukeluarkan dompetku, ingin rasanya segera mencapai garis akhir risetku hari itu.

“Bukan di sini,Mbak. Di dekat pintu masuk. Mbak tanya satpam aja.”

“Oh gitu, makasih ya. Permisi.”

Aku langsung pergi cepat-cepat meninggalkan ruangan itu. Tidak sabar untuk segera membeli buku yang kubaca tadi dan menuangkannya dalam bentuk skenario.

Begitu aku tiba di tempat penjualan buku, aku bertemu dengan perempuan yang menyarankanku untuk pergi ke perpustakaan di gedung pemasaran tadi. Ia bertanya apakah aku menemukan yang aku butuhkan di perpustakaan atau tidak. Aku menjawab sekenanya, “Dapat kok. Tapi kayaknya mendingan beli bukunya langsung aja.”

Aku memilih buku kecil dan tipis bergambarkan bunga bangkai di sampul depan yang di dalamnya mengandung informasi mengenai sejarah dan objek-objek wisata di dalam Kebun Raya. Betapa terkejutnya aku ketika diminta untuk membayar oleh sang penjual, buku kecil dan tipis itu berharga Rp50.000,-. Huh!! Mau ngerampok?! Kecil-kecil mahal banget sih! Mentang-mentang banyak turis asing, pasang harga gak kira-kira,umpatku dalam hati.

Berhubung Mas Rama memberiku uang Rp100.000,-, aku berpikir setidaknya aku masih memiliki uang Rp50.000,- untuk honor tulisanku. Aku lalu menghubungi Mas Rama sore itu, melaporkan hasil risetku selama hari itu dan menanyakan apakah aku masih perlu menemuinya lagi sore itu. Setelah Mas Rama mengatakan oke dan memintaku untuk pulang saja, aku pun memutuskan segera kembali ke rumah untuk menulis langsung skenario film dokumenter itu dengan buku dan beberapa informasi yang telah kupunya.

Hari itu, walau hanya riset kecil, tetapi sebagai pengalaman pertama telah memberiku banyak pelajaran, seperti mesin fotokopi yang rusak itu. Memberiku pelajaran untuk setidaknya bertanya dengan benar dan mendetil jika harus melakukan riset lagi. Supaya yang aku hasilkan tidak seperti membuang garam ke laut. Mendekam di ruangan penuh buku tanpa membawa pulang apapun hanya karena mesin fotokopian.

****


written at♥13:27